Satu kata, “Mahal“
Rupanya bukan hanya sembako yang semakin hari semakin mahal, hajatan akbar demokrasi yakni pemilu ongkosnyapun semakin mahal meski penyelenggaraannya 5 tahun sekali. Hal ini terwujud dalam anggaran pemilu yang fantastis setiap periodenya.
Di Bontang sendiri, dilansir dari tribunkaltim bahwa terungkap anggaran Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada daerah Bontang tahun 2024 disetujui dan disepakati pemerintah melalui APBD Perubahan sebesar Rp. 26,5 Miliar. “Sudah disetujui dalam anggaran Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), nilainya Rp 26,5 miliar,” kata Bambang Ramadhani Ketua KPU Bontang, saat dikonfirmasi Tribunkaltim.co, Jumat (24/11/2023).
Adapun di daerah Tana Paser, Pemkab Paser telah menyerahkan anggaran hibah pengamanan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) kepada Polres Paser, Selasa (6/2). Jumlah hibah yang diserahkan dari APBD Paser 2024 itu Rp 6,7 miliar. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Paser Nonding menjelaskan, penandatanganan hibah itu sebagai bentuk komitmen Pemkab Paser terhadap pengamanan pelaksanaan pemilu dan pilkada yang berlangsung pada tahun 2024 ini. Sebelumnya, pada Oktober 2023, Pemkab Paser juga telah menyalurkan hibah melalui NPHD kepada KPU dan Bawaslu Kabupaten Paser mencapai Rp 42,8 miliar. Selain itu, hibah juga diberikan kepada perangkat pemerintahan lainnya, semua pihak telah dilibatkan untuk mengantisipasi kerawanan konflik. (prokal[dot]com, 09/02/2024).
Sementara itu, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Anggaran ini telah diberikan sejak 20 bulan sebelum hari H pemilu, yaitu mulai tahun 2022 sampai dengan 2024, dengan rincian Rp 3,1 triliun pada 2022, Rp 30,0 triliun pada 2023, dan Rp 38,2 triliun pada 2024.
Total keseluruhan anggaran itu untuk menetapkan antara lain, jumlah kursi, pengawasan penyelenggara Pemilu, pemutakhiran data pemilih, penyusunan dapil, pengelolaan dan pengadaan laporan dan dokumentasi logistik.
“Anggaran tersebut utamanya dialokasikan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu),” ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata dalam keterangannya, (detikFinance, 13/2/2024).
Nilai yang benar benar fantastis, mengingat pemilu tahun 2024 ini adalah pemilu yang serentak dilaksanakan di tahun yang sama, dimana pada 14 Februari dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota , dan pada 27 November dilaksanakan pilkada di 34 provinsi dan 514 kabupaten.
Demokrasi Mahal
Menurut riset dari lembaga Prajna Research Indonesia (2023), Biaya minimal pencalonan caleg:
Calon anggota DPR RI: Rp1 miliar–Rp2 miliar
Calon anggota DPRD Provinsi: Rp500 juta–Rp1 miliar
Calon anggota DPRD kabupaten/kota: Rp250 juta–Rp300 juta
Biaya pencalonan capres dan cawapres:
2014 >> Jokowi-Jusuf Kalla Rp312,38 miliar, Prabowo-Hatta Rajasa Rp Rp166,56 miliar
2019 >> Jokowi-Ma’ruf Amin Rp 606,7 miliar, Prabowo-Sandiaga Rp 213,2 miliar
2024 (dana awal kampanye) >> Anies-Muhaimin Rp 1 miliar, Prabowo-Gibran Rp 31,43 miliar, Ganjar-Mahfud Rp 23,32 miliar.
Demikianlah besaran “mahar” yang harus dibayarkan oleh para calon. Biaya politik yang mahal (high cost politics) kerap kali menyebabkan mereka mencari bancakan di parlemen. Ini yang akhirnya menjerat beberapa anggota dewan untuk berurusan dengan perkara korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD.
Budaya Mengakar, Susah Hilang
Ongkos demokrasi sangatlah mahal, bahkan membengkak dari periode sebelumnya, meski demikian bengkaknya anggaran ini masih dinilai lebih hemat dikarenakan penyelenggaraannya serentak hanya 1 kali dan bisa memangkas biaya pemutakhiran data karena hanya dilakukan satu kali. Namun bercermin dari hajatan 5 tahun lalu yang dikatakan efisien karena dilakukan serentak dalam sekali justru menelan korban jiwa yang tidak sedikit akibat kelelahan, tercatat 440 petugas KPPS di 30 provinsi dikabarkan meninggal dunia, sedangkan 3.788 petugas sakit, sudah mahal ternyata masih minta korban jiwa juga.
Belum lagi anggaran pemilu tahun 2024 yang fantastis tersebut rawan dikorupsi, peluangnya bisa dari penyelenggara, peserta dan pemilih. Politik uang juga masih sangat mengakar dalam system demokrasi ini, ini sangat wajar karena karakter kapitalis selalu membersamai demokrasi. Politik dalam alam demokrasi tidak jauh jauh dari uang, untuk mendapat restu menjadi kandidat harus dengan uang, kampanye yang kental dengan konser dan hura hura juga dengan uang, pembuatan baliho yang jumlahnya tak berbilang dan keakhirannyapun jadi sampah juga dengan uang, hingga perolehan suara juga dengan uang. Ini berbanding lurus dengan kondisi masyarakat sekarang yang mengaggap hajatan akbar 5 tahunan hanya berputar di serangan fajar dan amplop, siapa yang bisa memberikan lebih banyak itulah yang dipilih, hampir semua atmosfernya hanya berputar di coblos dan jual beli suara, sangat mustahil tanpa uang kandidat bisa menang, beginilah alam demokrasi.
Lebih parahnya lagi dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa uang yang dipergunakan tersebut tidaklah murni uang pribadi, kebanyakannya uang tersebut milik pemodal/kapitalis, atau si kapitalis sendirilah yang mencalonkan diri menjadi politisi. Jamak diketahui bahwa tidak ada makan siang yang gratis dan tak ada bantuan yang cuma cuma, disinilah kemudian lahir pemimpin pro kapitalis dan munculnya politik oligarki. Para penyokong dana ini yang hakikatnya mengontrol politisi dan kebijakannya, atau bahkan merancang undang undang yang menguntungkan mereka.
Sebaliknya, mahalnya mahar yang dikeluarkan oleh para kandidat berdampak pada maraknya praktek korupsi. Penghasilan pejabat dalam kurun waktu 5 tahun menjabat dipastikan tidak bisa mengembalikan ongkos politik yang demikian besarnya. Sehingga janji manis hanya tinggal janji, memikirkan urusan rakyat sudah menjadi prioritas ke sekian, prioritas pertama yang dipikirkan bagaimana supaya balik modal dalam kurun waktu 1 periode. Pejabat akhirnya memperdagangkan kewenangannya dalam bentuk apapun, bisa melalui pengelolaan dana apbn atau apbd atau pelegalan hak milik umum menjadi milik pribadi.
Walhasil, rakyat kembali menanggung semua kepahitan hidup dan kembali dipimpin oleh para pejabat yang orientasinya mengembalikan modal yang habis dalam pemilihan. Rakyat kembali disuguhkan dengan kebijakan kebijakan yang pro pemodal dan jauh dari rasa kemanusiaan, semisal kebijakan kenaikan bbm, pajak, dan lain lain.
Kembali ke Sistem Politik Islam
Fantastisnya dana yang digelontorkan pada penyelenggaraan pemilu ternyata tidak berdampak signifikan terhadap tujuan hemat dan efisiensi pemilu, terkhusus ke arah perubahan negeri ini menjadi baik. Karena bisa dilihat politik oligarki justru semakin menguat korupsi juga menguat, sementara rakyat kian sengsara dan kesusahan.
Demokrasi hari ini telah nyata gagal menjadi sebuah system kehidupan, daya rusaknya sangat besar, wajar saja karena demokrasi tidak dirancang untuk mensejahterakan rakyat tetapi mensejahterakan para oligarki, lagi pula demokrasi dibuat oleh akal manusia yang serba kekurangan bukan system dari Allah SWT, dan pada prakteknya dengan trias politikanya sudah berani tampil menjadi pesaing Allah SWT. Faktanya demokrasi juga banyak menuai kritik, Plato mengatakan demokrasi itu berbahaya karena memberikan kekuasaan kepada orang yang bodoh dan iri hati. Sedangkan, Aristoteles menyebutkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang korup karena bersifat picik dan egois, tapi sungguh aneh demokerasi hari ini masih banyak diminati sebagai system untuk mengatur kehidupan.
Berbeda dengan Sistem politik Islam. Mengangkat seorang pemimpin dalam islam wajib hukumnya tapi tidak harus dengan mekanisme pemilu, apalagi dengan biaya yang fantastis trilyunan, sejarah membuktikan bahwa penyelenggaraan pemilihan pemimpin dalam islam -pemilihan khulafaur rasyidin- dilakukan dengan sederhana, efektif dan efisien. Tidak ada celah bagi pihak lain sebutlah para kapitalis/oligarki untuk ikut bermain dengan menggelontorkan dana besar untuk tujuan memudahkan segala urusan bisnisnya, mengapa demikian karena dalam islam tidak boleh menghalalkan yang diharamkan oleh Allah SWT semisal memperdagangkan kewenangan.
Dalam islam tidak perlu ada politik pencitraan. Jika saat ini didapati calon pemimpin boleh siapa saja asal berduit lalu ada proses polesan, blusukan, pencitraan dan lain lain, maka dalam islam calon pemimpin haruslah orang yang kapabel sebagaimana penetapan pemimpin harus memenuhi syarat in’iqad, calon pemimpin haruslah sosok pribadi yang bertaqwa dan siap untuk mengabdi kepada Allah SWT dan Ummat, karena dia akan memimpin dengan menerapkan hukum syara secara totalitas, sehingga calon pemimpin adalah orang yang benar benar layak dipilih, bukan terpaksa dipilih karena tidak ada pilihan lain.
Dalam islam seorang kepala negara (Khalifah) tetap menjadi kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Sementara itu, kepala daerah dipilih oleh Khalifah dan kapan saja boleh diberhentikan olehnya. Negara pun tidak disibukkan oleh pilkada rutin yang menguras energi, menimbulkan konflik, meminta nyawa, dan menghabiskan banyak uang.
Oleh karena itu butuh tinjauan sistemis untuk bisa keluar dari kemelut yang tidak ada sudah sudahnya ini. Kehidupan ini dinamis dan perubahan adalah keniscayaan, sudah menjadi kebutuhan bahwa perubahan system dan penguasa harus dengan islam, terbukti system islam satu satunya system yang diridhai Allah SWT dan mampu menyelesaikan berbagai macam problematika kehidupan sejak diterapkan dari masa Rosullah SAW hingga kekhalifahan Islam di Turki.
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (TQS An-nur (24):55) (Asna Abdullah)