Angka pengangguran masih terbilang tinggi di Kota Bontang, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Kota Bontang merupakan Kota dengan jumlah pengangguran tertinggi se Kalimantan Timur, yakni Kota Bontang 7,74 persen, kemudian di posisi kedua Balikpapan 6,09 persen dan tertinggi ke tiga Kota Samarinda 5,92 persen
Sementara jumlah ketersedian lapangan pekerjaan di Kota Bontang masih terbatas, dari jumlah pencari kerja atau pengangguran terdaftar sebanyak 8.544 orang dan jumlah ketersedian lapangan pekerjaan yang terdaftar 3.181 orang.
Merespon masalah ini pemkot bontang sering kali membuat agenda pelatihan secara berkelanjutan, agar memudahkan masyarakat untuk mengembangkan keterampilannya. Membuat sertifikasi kerja mandiri agar warga bisa menciptakan lapangan kerja sendiri dan juga memberikan kemudahan modal usaha agar para pelaku usaha baru bisa diberikan kesempatan untuk bersaing.
Pemerintah uat sendiri telah meluncurkan Perpres 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi (PVPV). Aturan itu diklaim untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan dengan menciptakan SDM yang kompeten, produktif, dan berdaya saing di pasar global. Melalui revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi akan tercipta lulusan yang siap memenuhi kebutuhan tenaga kerja di dalam negeri dan siap berkompetisi di pasar kerja global yang menguasai keahlian-keahlian baru.
Faktanya Indonesia memang memiliki jumlah angkatan kerja yang besar. Ada sekitar 143,7 juta orang dan diprediksi terus bertambah sekitar 3,5 juta orang setiap tahunnya. Indonesia juga diprediksi akan mengalami puncak bonus demografi pada 2030, jumlah penduduk usia produktif akan lebih besar mencapai 64% dari total jumlah penduduk. Bonus demografi inilah yang akan negara manfaatkan lewat program revitalisasi ini untuk melompat menjadi negara maju pada 2045. Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menyampaikan bahwa aturan ini akan membuka keran kerja sama dengan banyak pihak swasta untuk membantu para lulusan SMK cari kerja. Menurutnya, perpres revitalisasi pendidikan vokasi adalah payung dari kerja sama antara sekolah-sekolah dan pihak swasta. Melalui kerja sama ini, pihak swasta akan mendapatkan suntikan dana dari pemerintah dalam rangka menyediakan program-program pemagangan. Senada dengan Menko Perekonomian, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI Ida Fauziyah menyebut 12% lulusan sarjana dan diploma menganggur. Ketiadaan link and match antara perguruan tinggi dan pasar kerja menjadi penyebab banyaknya lulusan perguruan tinggi menganggur.
Masalah Pengangguran Adalah Tanggung Jawab Negara
Pengangguran merupakan hal serius, baik bagi negara maju maupun berkembang. Meski demikian umumnya masalah pengangguran paling banyak di negara maju. Pengangguran dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan akan berdampak pada kondisi ekonomi suatu negara.
Aspek sosial pun akan terdampak akibat tingginya angka pengangguran. Angka kriminalitas akan meningkat, angka kemiskinan juga akan mengalami lonjakan. Beban negara makin berat akibat banyaknya pengangguran.
Tentu perlu strategi untuk mengurai hal ini. Hanya saja, benarkah masalah ini akan terurai dengan adanya link and match antara dunia pendidikan dan pihak swasta? Sebelum menjawab ini, harus ada paradigma mendasar yang ditegakkan.
Masalah pengangguran merupakan masalah kenegaraan. Seharusnya negaralah yang bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja. Fungsi negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, menuntut pemerintah untuk memetakan SDM dan distribusinya ke masyarakat. Negara menyiapkan SDM andal melalui sistem pendidikan yang bermutu dan menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan masyarakat.
Peran ini tidak dapat beralih ke yang lain, Lantas yang menjadi pertanyaan, mengapa saat ini negara justru merumuskan kebijakan yang menyerahkan tugasnya ke pihak swasta?
Jawabannya, karena spirit kebijakan tersebut lahir dari paradigma sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, peran swasta mendominasi dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Prinsip yang menganggap pihak swasta sebagai ‘penyelamat ekonomi’ tegak atas sistem kapitalisme ini. Negara hanya bertugas sebagai regulator yang menjembatani masyarakat dengan pihak swasta. Itulah mengapa kebijakan yang pemerintah rumuskan selalu mengakomodasi kepentingan swasta. Rumusan terbaru yang menopang kebijakan ini adalah konsep penta helix.
Ini adalah konsep multipihak, unsur pemerintah, akademisi, pebisnis, masyarakat, dan media berkoordinasi dalam mengembangkan inovasi yang berpotensi untuk dikapitalisasi atau dikembangkan menjadi suatu produk atau jasa. Maka apakah masalah masyarakat selesai saat peran negara dalam mengatasi masalah masyarakat beralih ke swasta? Jawabannya, tentu saja tidak!
Munculnya Masalah
Sekilas terlihat bahwa masalah selesai saat pihak swasta turut menjadi pemain dalam mengurai masalah, termasuk masalah pengangguran. Bahkan, realitas ini menunjukkan bahwa swastalah yang justru menguasai pasar dunia kerja. Padahal, untuk melaksanakan pelayanan kepada rakyat negara tentu mempunyai andil besar dalam menciptakan lapangan kerja.
Mungkin masyarakat tidak akan mempermasalahkan siapa yang bertugas menciptakan lapangan kerja. Masyarakat hanya perlu pekerjaan agar kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Namun, spirit swasta dalam memberikan pelayanan adalah spirit bisnis. Walhasil, pelayanan tersebut berorientasi pada dua hal, yakni untung dan rugi.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah saat masyarakat hendak memenuhi kebutuhannya, mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Rakyat tetap harus mengeluarkan biaya saat menggunakan fasilitas umum yang pengurusannya telah beralih ke swasta, Lagi lagi masyarakat lah yang dibebankan.
Dua hal yang menyedihkan dari realitas ini adalah pertama, negara berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya. Kedua, kebijakan yang memperlebar masuknya pihak swasta ini memanfaatkan dunia pendidikan. Pemerintah mengarahkan para intelektual untuk mengabdikan ilmu mereka kepada pemodal, bukan masyarakat. Sungguh miris kebijakan yang lahir dari paradigma kapitalistik ini.
Solusi Islam Mengatasi Pengangguran
Dalam Islam, penguasa yang menjalankan roda pemerintahan berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyatnya. Negara bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan rakyat dan memberikan pelayanan. Untuk itu, semaksimal mungkin negara akan menyediakan infrastruktur pendukung, menyiapkan SDM andal, dan merekrut tenaga kerja (ajir) melalui pembukaan lapangan kerja yang membantu pemerintah dalam menjalankan amanahnya.
Pada era yang sangat kompleks seperti saat ini, tentu negara membutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Contohnya dalam memenuhi APBN daulah misalkan melalui pos-pos ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga pengelolaan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, dan pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang, tentu membutuhkan banyak tenaga kerja dalam menjalankan tugas memenuhi pos-pos tersebut. Para pegawai ini akan bekerja sesuai bidangnya masing-masing, baik ekonomi, pendidikan, pertanian, pertanahan, ahli IT, matematikawan, tenaga kesehatan, dll.
Kemajuan teknologi tidak lantas menjadi dalih untuk membenarkan tingginya tingkat pengangguran. Teknologi adalah tools yang memudahkan pengurusan urusan rakyat.
Negara tetap melaksanakan pelayanan dan memanfaatkan teknologi dalam mempercepat dan memudahkan pelayanan.
Islam bukanlah negara yang fobia dengan kemajuan zaman. Negara akan mendorong dunia pendidikan untuk menciptakan inovasi teknologi sesuai zaman, bahkan melampaui apa yang telah negara lain peroleh.
Dunia pendidikan ada untuk membantu negara dalam menyediakan SDM andal dalam memberikan pelayanan. Bukan malah mengabdikan intelektualitasnya untuk memenuhi kebutuhan para pebisnis. Butuh revisi paradigma dalam melayani rakyat dan mengurai pengangguran secara sistemis. Artinya, butuh kajian dan diskusi kritis saat menjadikan swasta sebagai partner dalam mengurai masalah pengangguran di negeri ini. Wallohu’alam.
Oleh : Jumiana, S.H
(Pemerhati masalah umat)