Home / Ragam

Sabtu, 29 Maret 2025 - 22:31 WIB

Meraih Harapan: Solusi Islam Untuk ketidakpastian CASN dan CP3K

Penundaan pengangkatan CASN dan  Calon PPPK ini bagai beban berat yang terus dipikul tanpa ujung bagi banyak orang. Mereka yang sudah bertahun-tahun berjuang melewati seleksi kini hanya bisa menunggu tanpa kepastian. Harapan mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik seakan digantung tak pasti. Sementara itu, di daerah-daerah, pelayanan masyarakat jadi timpang karena posisi yang seharusnya diisi oleh tenaga baru masih kosong. Harapan untuk kehidupan yang lebih layak tertunda, sementara kebutuhan di lapangan terus mendesak tanpa solusi yang jelas.

Kondisi ini sontak menimbulkan reaksi yang beragam di berbagai daerah. Di Bontang, aspirasi ratusan calon pegawai bergema kuat dengan munculnya kesepakatan penolakan pengangkatan serentak pada 1 maret 2026 mendatang, dalam bentuk aksi yang disampaikan ke Walikota Bontang, Neni Moerniaeni di Auditorium Kantor Wali Kota, Bontang Lestari (mediakaltim.com.11/03/2025).

Di Samarinda, sejumlah pihak mengungkapkan keresahan atas dampaknya terhadap pelayanan publik, di mana kekosongan posisi strategis mulai terasa dalam operasional pemerintahan daerah (https://pusaranmedia.com.11/03/2025)

Sementara itu, di Paser, Ratusan honorer di Kabupaten Paser menyampaikan aspirasi mereka melalui aksi di Gedung DPRD, menolak penundaan pengangkatan CASN dan PPPK. DPRD Paser, melalui Ketua Hendra Wahyudi, mendukung tuntutan mereka dan meneruskan permintaan tersebut ke KemenpanRB. Honorer mendesak percepatan pengangkatan sesuai peraturan serta menolak kebijakan pengangkatan serentak, berharap pemerintah segera memberikan solusi. (nomorsatukaltim.disway.id.13/03/2025)

 

Efisiensi anggaran, mengorbankan harapan rakyat

Meski, perkembangan terbaru menunjukkan adanya upaya percepatan pengangkatan oleh pemerintah paling lambat juni 2025 bagi ASN dan Oktober 2025 bagi PPPK, namun banyak pihak yang merasa resah, terutama mereka yang telah lama menantikan kepastian status kepegawaian mereka.

Janji-janji pemerintah yang tidak terealisasi sering kali menjadi sumber kekecewaan. Dalam konteks pengangkatan CASN dan PPPK, janji tersebut memiliki dampak yang lebih besar karena status ASN tidak hanya memberikan stabilitas pekerjaan tetapi juga mencerminkan privilage sosial. Walhasil kemarahan ini beralasan dan patut diwajarkan, mengingat mereka yang telah menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya demi proses seleksi. Aksi yang muncul adalah bentuk protes masyarakat sebagai respons yang harus dipahami dan diapresiasi mengingat pengorbanan mereka tidak dihargai dengan kejelasan.

 

Kendati pemerintah membantah alasan efisiensi anggaran dan tidak membenarkannya, namun beberapa alasan dibalik penundaan versi pemerintah tidak cukup kuat  menjawab keresahan dan kekecewaan publik, sebagai contoh yang paling menonjol bahwasanya pemerintah beralasan dengan jadwal pengangkatan serentak, nyatanya banyak formasi pada layanan publik yang akan kosong dan harus segera terisi kembali agar kinerja dan pelayanan publik tetap berjalan optimal, bagaimana mungkin yang urgen ini harus ditunda?

Begitu juga dengan  alasan pemerintah yang membutuhkan waktu menyelaraskan data formasi, jabatan, dan penempatan calon ASN, ini juga sebenarnya tidak cukup kuat dan seakan mempermainkan, jika begitu mengapa tidak dipertimbangan matang matang terlebih dahulu lalu membuka penerimaan baru?

 

Rakyat Tumbal Kapitalisme

Dalam kondisi tak pasti ini, masyarakat yang menjadi korban janji pemerintah harus menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat akibat sistem kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis telah membawa dampak yang buruk terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam hal kesenjangan sosial yang semakin melebar. Sistem ini mendorong berkumpulnya kekayaan di tangan segelintir individu atau kelompok, sementara sebagian besar masyarakat harus berjuang di bawah tekanan ekonomi yang semakin sulit. Ketimpangan dalam sistem kapitalisme tidak berhenti hanya di masalah jurang antara yang kaya dan miskin, tapi juga tentang kesempatan akses antara yang berduit dan tidak berduit. Saat segelintir orang menikmati limpahan kekayaan, banyak lainnya justru terseok mencari akses ke pendidikan, sumber daya, atau sekadar bertahan untuk hidup lebih baik. Akibatnya, kesejahteraan menjadi hal yang susah diraih, dan jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga.

Baca juga  Kenaikan Indeks Pembangunan Gender, Mampukah Melindungi Perempuan?

Lebih jauh lagi, kebijakan yang diterapkan dalam sistem kapitalisme cenderung berpihak pada pemilik modal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terlihat dari aturan dan keputusan yang sering kali memberikan keuntungan lebih kepada korporasi besar, sementara masyarakat kecil harus menanggung beban akibat keputusan tersebut. Kesenjangan yang diciptakan ini memperkuat kemiskinan struktural yang sulit diatasi, karena sistemnya sendiri tidak dirancang untuk mendukung distribusi kekayaan secara merata. Contoh konkritnya adalah kebijakan efisiensi anggaran. Jika dicermati kebijakan ini seakan cenderung memihak kepada pemodal. Adanya pengurangan subsidi publik, seperti subsidi bahan bakar atau listrik, demi mengalokasikan anggaran ke sektor-sektor yang dianggap strategis untuk investasi. Ketika subsidi dikurangi, maka akibatnya masyarakat terpaksa menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara pemodal besar diuntungkan dengan insentif atau dukungan finansial untuk proyek-proyek infrastruktur besar yang mereka kelola.

Contoh lainnya adalah kebijakan privatisasi sektor publik, seperti air bersih, listrik, atau transportasi umum. Alasan efisiensi anggaran sering digunakan untuk membenarkan langkah ini, dengan dalih bahwa pengelolaan oleh pihak swasta lebih efektif. Namun, hasilnya justru memberi keuntungan besar kepada perusahaan swasta, sementara masyarakat kecil harus membayar lebih mahal untuk layanan dasar yang seharusnya menjadi hak mereka. Miris memang, Masyarakat seolah menjadi tumbal dari pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga.” Harapan mereka untuk segera diangkat sebagai ASN dan PPPK tergantung tanpa kepastian, sementara tekanan ekonomi terus menghimpit akibat kebijakan efisiensi anggaran yang tak berpihak pada mereka.

Demikianlah karakter asli sistem sekuler kapitalisme, sistem ini sejatinya didesain untuk membatasi peran negara sebagai pelayan utama rakyat, bahkan jika bisa dihilangkan ya dihilangkan. Negara berlepas tangan dan membiarkan masyarakat menghadapi kerasnya realitas hidup ulah pemerintah sendiri dengan kebijakan otoriternya. Jikapun ada kebijakan yang terlihat populis, kenyataannya masyarakat kena prank, akhirnya mereka menelan pil pahit untuk yang kesekian kalinya menghadapi fakta banyaknya keputusan yang tidak peduli pada kepentingan mereka dan justru memperberat beban hidup mereka.

 

Islam, Harapan ketidakpastian CASN dan CP3K

Jika sistem sekuler kapitalisme abai dan tidak mengurusi rakyat, bagaikan langit dan bumi Islam hadir sebagai kebalikannya. Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup yang sempurna (kamil) dan menyeluruh (syamil), memastikan terjaminnya kesejahteraan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan.

Terkait dengan tuntutan rakyat, Dalam kitab Ajhizah ad-Daulah al-Khilafah karya Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullah pada bab Al Qadhi menjelaskan bahwa Qadhi Madzalim menjadi institusi peradilan yang berfungsi memastikan keadilan bagi rakyat, termasuk dalam hal kebijakan negara yang dirasa tidak berpihak pada mereka. Qadhi Madzalim memiliki wewenang untuk mengkaji setiap kebijakan pemerintah yang dikeluhkan oleh rakyat, memastikan kebijakan tersebut sesuai prinsip hukum syara. Jika ditemukan penyimpangan atau ketidakadilan, Qadhi Madzalim berhak memberikan keputusan yang bersifat korektif terhadap kebijakan tersebut, sehingga hak rakyat tetap terjaga.

Baca juga  Daya Tarik IKN dan Tantangan Kepemimpinan Bagi ASN di Era Digital

Dalam konteks tuntutan CASN dan P3K saat ini, Qadhi Madzalim akan bertindak sebagai penengah yang tegas untuk memastikan bahwa kebijakan terkait pengangkatan pegawai tidak merugikan masyarakat. Kebijakan yang berulang kali ditunda tanpa kejelasan bisa dianggap sebagai bentuk kelalaian negara dalam memenuhi tanggung jawabnya. Oleh karena itu, Qadhi Madzalim akan memeriksa kebijakan tersebut, menentukan apakah tindakan pemerintah sejalan dengan prinsip hukum syariah, dan memberikan keputusan yang memaksa pemerintah untuk memenuhi hak rakyat dengan segera.

Selanjutnya terkait dengan lapangan pekerjaan, penyediaan lapangan kerja sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi. Dalam kapitalisme, masalah kepemilikan menjadi problem utama, di mana pemilik modal bebas menguasai aset strategis/kepemilikan umum tanpa batas yang berfokus pada keuntungan, sehingga nasib pekerja bergantung pada bisnis yang tidak stabil, berkebalikan dengan Sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan dengan jelas, memungkinkan negara membuka banyak lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian penyediaan lapangan kerja adalah tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat, meskipun individu juga membuka usaha dan mempekerjakan tenaga kerja.

Khilafah akan menciptakan berbagai jenis lapangan pekerjaan bagi kaum laki-laki, karena mereka memiliki kewajiban syar’i sebagai penanggung nafkah keluarga. Untuk mendanai kebutuhan ini, negara memanfaatkan baitulmal dengan tiga sumber utama pendapatan. Pertama, dari kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, dan zakat, yang pengelolaannya harus dipisahkan dari dana lainnya. Kedua, dari kepemilikan umum yang mencakup sumber daya strategis seperti tambang, minyak, gas, dan hutan. Ketiga, dari kepemilikan negara, seperti pendapatan dari jizyah, kharaj, fai, dan usyur. Dengan pengelolaan berdasarkan sistem ekonomi islam ini, harta akan terus mengalir dan beredar di tengah masyarakat, dan mampu menciptakan kesejahteraan.

Dalam sejarah Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan hak-hak pekerja terpenuhi, termasuk memberikan gaji yang layak sebelum keringat mereka mengering, serta menerapkan sistem yang Allah kehendaki untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, negara wajib hadir sebagai pengurus rakyat, menyelesaikan masalah CASN dan CP3K dengan segera, agar mereka dapat menjalankan tugas secara optimal tanpa terhambat oleh penundaan kebijakan yang berlarut-larut. Kebijakan yang dibuat harus berorientasi pada pelayanan masyarakat, bukan semata-mata didasarkan pada kepentingan politik atau ekonomi, apalagi kepentingan korporasi oligarki. Ramadhan ini menjadi momentum yang tepat untuk kembali kepada prinsip-prinsip Islam dalam mengatur urusan rakyat, memahami islam lebih luas, bukan hanya dari sisi ruhiyah tapi juga dari sisi penerapannya, membuka kembali sirah Rasulullah dan para pemimpin di masa kekhilafahan, tentang bagaimana mereka memperlakukan pekerja sesuai dengan hukum islam. Wallahu a’lam bis shawab. (Asnawati Abdullah, Aktivis Dakwah Islam)

Share :

Baca Juga

Ragam

Ketika ‘Suara’Laut dan Suara Nelayan Tenggelam

Ragam

Wajah Buruk Sistem Pendidikan Sekuler Kapitalisme

Ragam

Konsep Moderasi Mengaburkan Citra Islam

Ragam

Tragedi Bunuh Diri Akibat Mental Health Rendah

Ragam

BBM Hak Rakyat, Mengapa Dibatasi?

Ragam

Manfaat Kopi Hitam Tanpa Gula Bagi Tubuh

Ragam

10 Makanan yang Bisa Tingkatkan Resiko Diabetes

Ragam

Islam Menyelesaikan Masalah Pengangguran