Hari Buruh Internasional atau May Day diperingati setiap tahun di tanggal 1 Mei. Sayangnya, sedari awal diperingati hingga saat ini, buruh di berbagai penjuru dunia tak terkecuali di negeri ini masih terbelit problem kesejahteraan. Menurut laporan ILO berkaitan Tren Ketenagakerjaan dan Sosial 2024, ada dua isu utama yang menjadi sorotan.
Pertama, tingkat pengangguran global yang tinggi. Pada tahun ini, ada lebih dari 200 juta orang yang masih menganggur.
Kedua, kesenjangan sosial yang makin lebar. Ketimpangan antara orang kaya dan miskin makin parah, satu persen populasi terkaya dunia menguasai lebih dari setengah kekayaan global. (Tirto, 26-4-2024).
Kondisi buruh di Indonesia, menurut survei bahwa 69% perusahaan di Indonesia menyetop perekrutan karyawan baru pada 2023 karena khawatir terjadi PHK. (CNN Indonesia, 26-4-2024).
Ada dua isu utama yang diusung pada aksi Hari Buruh tahun ini, yaitu Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan HOSTUM: Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah. (Liputan 6, 29-4-2024).
Buruh masih terbelit persoalan kesejahteraan, seperti upah rendah, kondisi kerja yang tidak layak, maraknya PHK, dan sempitnya lapangan kerja. Persoalan-persoalan tersebut membuat nasib buruh makin terpuruk.
Buruh tidak bisa berharap banyak pada negara karena pada faktanya buruh hanya bergantung pada perusahaan, adapun negara hanya hadir sebagai regulator dan penengah antara buruh dan perusahaan.
Berbagai permasalah yang buruh hadapi baik gaji rendah, kesejahateraan, sempitnya lapangan pekerjaan, PHK, seakan persoalan yang tak berpenghujung, inilah akibat dari diterapkannya sistem Kapitalisme, karena perusahaan hanya berorientasi pada keuntungan sementara menekan pembiayaan produksi termasuk upah pekerja.
Sementara pekerja atau buruh hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada, upah murah sedangkan beban kerja yang berat, jikapun menuntut maka mereka harus bersiap untuk menerima PHK sedangkan lapangan pekerjaan yang begitu minim. Seperti buah simalakama.
Islam Mensejahterakan Buruh
Islam mengatur perburuhan bukan seperti perbudakan. Islam memandang masalah ini dengan akad ijarah (bekerja). Buruh adalah pekerja memiliki kedudukan setara dengan pemberi kerja (majikan). Mereka akan digaji sesuai keahliannya dan sesuai kesepakatan awal. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Jadi, sesungguhnya Islam tidak membolehkan adanya penentuan upah minimum karena hal itu dapat menzalimi pekerja. Bisa saja para majikan tidak membayar gaji pekerja sesuai dengan pekerjaannya, padahal kerjanya lebih berat hanya karena mengikuti aturan upah minimum. Negara sendiri sebenarnya haram untuk mematok upah.
Berbeda dengan sistem Kapitalis yang fokus pada keuntungan semata, Islam berorientasi pada kesejahteraan tiap individu masyarakat tak terkecuali para buruh, Islam memiliki pandangan yang unik tentang buruh, buruh adalah bagian dari rakyat yang merupakan tanggung jawab negara mengurusinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Oleh karenanya Islam benar-benar serius dalam pengurusan urusan rakyat terutama berkaitan kesejahteraan para buruh. Karena Islam memandang bahwa buruh adalah pekerja yang memiliki hak-hak sebagaimana pekerja.
Negara juga memastikan kedua belah pihak dapat menjalankan kewajibannya dan memperoleh haknya secara makruf. Jika ada perselisihan di antara keduanya, negara tampil sebagai hakim yang memberikan keputusan secara adil berdasarkan syariat Islam.
Terkait upah, Islam menentukan upah dalam akad kerja berdasarkan ridha antara kedua belah pihak (antaradhin). Islam juga memiliki standar upah yang ditentukan oleh para ahli (khubara) sesuai manfaat yang diberikan oleh pekerja, lama bekerja, jenis pekerjaan, risiko, dan lainnya. Dengan demikian, bisa dipastikan tiap-tiap pihak merasa senang. Buruh senang karena mendapatkan upah secara makruf, perusahaan juga senang karena mendapatkan manfaat yang baik dari karyawannya.
Peran negara seperti itulah yang menjamin semua kebutuhan rakyat terpenuhi. Jika ada pekerja yang memang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup karena sebab tertentu, seperti cacat, sakit, dsb., negara wajib untuk memberikan bantuan. Bisa berupa zakat atau bantuan lainnya. Intinya, negara memastikan agar semua kebutuhan individu tercukupi.
Dengan demikian, tanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat (termasuk buruh) ada pada negara, bukan perusahaan. Negara akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara orang per orang sehingga tiap-tiap rakyat merasakan kesejahteraan. Negara juga melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Wallahu a’lam bi showab.