Keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 telah menjadi sorotan publik.
Pembatalan ini menuai kritik dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Menurut Ubaid Matraji, koordinator JPPI, langkah ini tidak menyelesaikan akar masalah yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia.
JPPI menilai bahwa pembatalan ini hanya sementara dan tidak disertai dengan pencabutan Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 serta tidak ada komitmen untuk mengembalikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) .
Keputusan pemerintah membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT tahun ini belum sepenuhnya melegakan dunia pendidikan tinggi. Sebab, beragam aturan terkait Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau PTN BH belum dicabut yang memungkinkan polemik berulang dan tarif UKT bisa kembali naik di tahun 2025.
Pendidikan Kebutuhan Primer, Bukan Tersier
Kapitalisasi pendidikan makin terlihat di dalam rencana kenaikan UKT. Pemerintah makin lepas tangan dalam menyelenggarakan pembiayaan pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan.
Pendidikan tinggi nantinya hanya dapat dijangkau oleh keluarga dengan taraf ekonomi menengah ke atas. Sementara anak-anak dari keluarga menengah ke bawah hanya bisa pasrah, walaupun mereka punya keinginan kuat untuk menuntut ilmu dan cita-cita yang tinggi. Ini juga jelas merupakan kezaliman karena telah merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa mengenyam pendidikan di PTN.
Dampaknya, hal ini akan mengancam kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga sulit bersaing di pentas global. Untuk itu, polemik UKT ini harus dihentikan, bahkan sistem liberal yang telah melahirkannya juga harus diganti dengan sistem sahih, yakni sistem Islam.
Islam Menjamin Pendidikan Warga
Cara pandang kapitalistik sungguh berbeda dengan pandangan dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan. Hal ini berawal dari sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).
Serta hadis, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi.
Dalam Islam, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.
Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas, juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan hanya diambil dari orang kaya laki-laki saja.
Sementara itu, jaminan dan realisasi pembiayaan pendidikan oleh negara, yakni berupa pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar termasuk uang saku mereka.
Wallahualam bissawab
Oleh : Jumiana. SH (Pemerhati masalah umat)