Seruan moderasi dan toleransi terus digaungkan di berbagai daerah di Indonesia sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan keberagaman dalam masyarakat. Pemerintah menjadikan gagasan moderasi beragama sebagai program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020—2024 lalu. Sebagai contoh, di Bontang, Kalimantan Timur, Duta Moderasi Beragama dari MAN Bontang menggelar sosialisasi untuk memperkuat pemahaman moderasi beragama di kalangan generasi muda. Kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama sejak dini. Sebagaimana dikutip dari www.rri.co.id.
Secara harfiah, moderasi atau moderat adalah sebuah kata sifat yaitu turunan dari kata ‘moderation’, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau memiliki makna sedang. Merujuk pada situs Oxford Language, ‘moderation’ memiliki arti menghindari sikap berlebihan atau ekstrem, terutama dalam perilaku atau pendapat politik. Dalam bahasa Indonesia, istilah ‘moderation’ diserap menjadi ‘moderasi’ yang memiliki arti sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman (KBBI). Dalam konteks tersebut, Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin (periode 2014 – 2019), menyampaikan bahwa ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama dan menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama.
Namun, gagasan ini tentunya tidak lepas dari kritik, terutama dari umat Islam yang mengkhawatirkan bahaya ide pluralisme dan toleransi yang berlebihan terhadap akidah mereka. Pasalnya Moderasi beragama sering kali dikaitkan dengan pluralisme yang menganggap semua agama sama, dimana hal ini sebenarnya justru dapat mengaburkan ajaran hakiki masing-masing agama.
Dalam pengarusan moderasi beragama, para penggagas konsep ini menganggap bahwa identitas agama menjadi dasar fundamentalisme yang menafikan nilai-nilai kebenaran dari kelompok lain. Untuk menunjukkan kesan urgensitas gagasan moderasi ini, mereka lantas mengatakan bahwa fundamentalisme dan sikap fanatik berlebihan terhadap agama (Islam) akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pasalnya jika kita beragama sesuai dengan ajaran Islam yang benar dan menyeluruh dianggap ekstrem karena tidak sesuai dengan ‘harapan’ beragama yang diusung ide moderasi ini.
Akan sangat berbahaya jika moderasi dijadikan basis dalam pendidikan kita karena akan mengancam aqidah dan adab umat serta generasi. Sebagai contoh, jika pemuda muslim ada yang mengikuti gaya hidup sekuler, seperti throning (kencan untuk menaikkan status sosial), kohabitasi (kumpul kebo), zina, waithood (sengaja menunda-nunda menikah demi menikmati kebebasan), dan childfree (pasangan resmi yang tidak mau punya anak), maka itu adalah hal yang harus diterima sebagai konsekuensi toleransi terhadap ‘tren’. Maka, jika ada yang tidak mau mengikutinya karena hendak memegang teguh syariat Islam kafah, harus siap dilabeli orang yang kuno . Dan jika ada yang mengatakan itu haram dan menyerukan untuk kembali kepada solusi Islam mereka harus siap disebut radikal. Terlebih jika melawan arus, tentu harus siap menyandang gelar fundamentalis. Walhasil, umat memilih bersikap defensif apologetik. Sebuah sikap yang muncul sebagai respons atas tuduhan terhadap Islam sebagai agama yang intoleran.
Jika kita merujuk kepada lahirnya ide moderasi beragama ini, tentunya tidak terlepas dari sistem hidup sekular yang hari ini diterapkan di tengah masyarakat. Seperti yang kita ketahui, sekular sendiri lahir dari konflik berkepanjangan antara cendikiawan dan agamawan Eropa di abad pertengahan. Untuk mengakhiri konflik tersebut mereka bersepakat untuk ‘membagi’ urusan dunia dan akhirat.
Sistem sekularisme yang hari ini diterapkan sesungguhnya tidak peduli dengan konsep beragama. Kaum sekularis menganggap bahwa agama merupakan perkara privat dan keberadaannya hanya diakui di altar peribadahan.
Islam sebagai agama dan pandangan hidup, jelas memiliki konsep toleransi yang khas, yang memberikan kebebasan bagi umat lain untuk menjalankan ajaran agamanya, dan tetap menjaga akidah umat Islam dengan mengatur batasan tertentu dalam interaksi sosial. Konsep ini bersumber dari syariat yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur kegidupan antarumat beragama dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep ini juga relevan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas. Konsep toleransi dalam Islam bersandar pada aturan syariat yang bersifat khas. Ini karena Islam adalah agama yang memiliki aturan tertentu dan menetapkan definisi tertentu mengenai perbuatan hamba sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya yang menjadi pedoman dalam berinteraksi di tengah masyarakat.
Islam memberikan keleluasaan bagi umat lainnya untuk menjalankan ajaran agamanya, sebagaimana umat Islam menjalankan syariat. Dalam lingkup bermasyarakat dan bernegara pun Islam memberikan jaminan kebebasan bagi agama lain untuk menjalankan ibadah dan segala sesuatu yang mereka yakini menurut batas yang diatur oleh negara. Hal ini dalam arti, terdapat sejumlah ajaran yang hanya boleh dilaksanakan dalam lingkup umat tertentu dan tidak dibolehkan untuk dilaksanakan di ruang publik. Ini dalam rangka menjaga akidah umat Islam, juga sebagai bentuk toleransi nyata dalam kehidupan bermasyarakat di bawah naungan negara Islam.
Oleh : Nur Ilahiyah (Aktivis Dakwah dan Pengajar di Madrasah Al -Quran Darul Izzah Bontang)