Bentangkaltim, Bontang – Dunia Pendidikan di Indonesia saat ini mengalami tantangan besar. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat Indonesia pada 2024 masih kekurangan 679 ribu guru dan persebaran guru yang tidak merata. Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Kemendikdasmen, Nunuk Suryani menyampaikan hal tersebut dalam orasi ilmiahnya di kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sabtu, 1 Februari 2025. Kota Bontang sendiri juga mengalami persoalan yg sama. Bahkan jumlah guru di Kota Bontang selalu berkurang tiap tahunnya dikarenakan ada tenaga pendidik yang masuk masa pensiun. Jika dijumlahkan maka berkurang 137 tenaga pendidik di Bontang. Solusi yang diberikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) adalah dengan merilis Peraturan Menteri (Permen) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Redistribusi Guru Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Satuan Pendidikan yang Diselenggarakan oleh Masyarakat. Harapannya melalui peraturan ini, guru ASN yang mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kini diperbolehkan untuk mengajar di sekolah swasta. Untuk merealisaikan ini tentunya tidak mudah karena perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sekolah swasta dalam pelaksanaan kebijakan ini. Selain itu kendala yang mungkin muncul adalah yayasan pendidikan swasta merasa terbebani dengan aturan pemerintah yang menyertai kehadiran guru ASN.
Kekurangan guru bukan satu satunya masalah dalam dunia pendidikan, berbagai permasalahan membelit kehidupan para guru. Masalah finansial dan kesejahteraan, kisruh guru honorer, bongkar pasang kurikulum, guru terlilit pinjol dan judol, kriminalisasi guru, hingga kasus asusila yang melibatkan guru dan murid. Banyak guru, terutama di daerah terpencil atau yang berstatus honorer, menghadapi kekurangan ekonomi yang tidak sepadan dengan jasanya. Menurut survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru.
Di tengah kompleksnya sistem pendidikan nasional, guru semakin terjepit. Arus deras moderasi beragama menyulitkan guru dalam merealisasikan visi pendidikan kepada para peserta didik. Standar benar dan salah menjadi abu-abu. Moderasi beragama mengajarkan kepada anak-anak untuk mengambil syariat Islam terkait individu, seperti ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi meninggalkan ajaran Islam yang mengatur urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara (politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan sebagainya). Dengan kata lain, moderasi beragama adalah mekanisme untuk melakukan sekularisasi kepada para peserta didik secara sistemis.
Belum lagi dengan Kurikulum Merdeka yang mengacaukan arah pendidikan. Instrumen penting dalam kurikulum ini yaitu teknologi digital justru menjadi pisau yang mematikan motivasi belajar. Para guru harus bersaing dengan gadjet setiap saat hingga tidak berkesempatan membangkitkan karakter dan budi pekerti luhur para muridnya, yang terjadi malah murid-murid makin tidak fokus belajar, mereka terpapar tayangan tidak bermutu bahkan porngrafi, menjadikan mereka pragmatis, berpola pikir instan, dan liberal.
Pada pendidikan tinggi masalah kenaikan biaya UKT menjadi masalah besar, terutama sejak tahun 2000 melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Akhirya PTN menempuh jalan di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.
Sesungguhnya sistem kapitalisme yang bertanggung jawab terhadap tata kelola pendidikan hingga melahirkan pendidikan berbiaya tinggi dan lemahnya fungsi negara. Hal itu dikarekanan dalam kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai komoditas. Keuntungan materi seringkali menjadi penghalang bagi negara ketika layanan pendidikan ternyata dinilai tidak lebih menguntungkan dibandingkan investasi negara di bidang ekonomi. Ini tampak dari minimnya negara memberikan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan yang berdasarkan pada perhitungan anggaran dan bukan pada kebutuhan biaya pendidikan itu sendiri, menunjukkan bahwa pemerintah menganggap pendidikan sebagai beban yang dapat memperbesar defisit APBN. Akhirnya negara cenderung menyerahkan urusan pendidikan kepada sektor swasta. Sekolah-sekolah swasta dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang baik, tetapi hanya bisa di akses golongan menengah ke atas.
Kepemimpinan kapitalistik dalam sistem politik demokrasi yang penuh dengan orang-orang bermental oportunis membuat dana pendidikan yang sedikit tetap saja dikorupsi. Parahnya lagi, pada saat yang sama, ada kebijakan yang katanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tetapi nyatanya ditetapkan berdasarkan kepentingan politik pragmatis, seperti program MBG untuk anak sekolah yang mencapai Rp722,6 triliun. Seharusnya, dana tersebut dialokasikan untuk gaji guru honorer dan pembangunan fasilitas belajar yang adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, agar lebih bermanfaat.
Dalam pandangan Islam pendidikan bukan pilihan tetapi kebutuhan pokok dan vital serta memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara. Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara. Pembiayaan seluruh unsur pendidikan di berbagai jenjang (dasar, menengah, tinggi), baik yang menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Sistem Keuangan Negara Khilafah menguraikan sumber pendapatan keuangan negara yang tetap sesuai pengelolaan Islam. Terkait pembiayaan pendidikan oleh Khilafah, ada dua sumber pendapatan baitulmal untuk membiayai pendidikan. Pertama, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ganimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, dipungut dari rakyat hanya ketika kas baitulmal kosong, itu pun hanya kepada laki-laki muslim yang kaya. Kedua, pos kepemilikan umum, seperti sumber kekayaan alam, tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun. Wallohu’alam.
oleh Adiah Murwidiaswati S.Si
(Aktivis Dakwah)